Kamis, 21 Oktober 2010

Sebuah Fiksi

Bunda, Bangunkan Senja di Esok Nanti

Hujan deras siang tadi masih menyisakan gerimis di luar sana, suaranya lirih namun teratur, indah sekali. Pun bagiku yang masih menatap kosong ruangan ini, bersama gadis yang cantik sekali, secantik namanya, Senja. Senja adalah putriku satu-satunya, yang teramat aku cintai dengan segenap rasa yang aku punya.

“Bunda, kok belum tidur juga? Senja kan sudah baikan."

“Iya,kalo ngantuk, Bunda pasti tidur. Senja belum ngantuk?”

“Belum, kalau gitu boleh Senja nanya Bun?”

“Kenapa sayang?”

“Bunda, kata orang sabar itu ada batasnya, lalu kalau kita sudah mencapai batas kesabaran itu bagaimana? Misalnya kalau kita merasa sakit, dimana kita tahu kalau kita sudah berada di batas kesabaran untuk menahan rasa sakit itu?”

“Sayang, itu kan kata sebagian manusia, kita dengar perkataan Allah saja ya. Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (otrang musuh); dan jika diantara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah.Allah beserta orang-orang yang sabar.1) Nah, berarti kalau kita ingin bersama Allah berarti sabar itu tak boleh ada batasnya. Mungkin bagi Bunda dan kamu, sabar itu sangat sulit, setidaknya kita belajar untuk bersabar. O iya, betapa banyak kemenagan yang diraih justru karena kesabaran, contohnya perang Badar. Kita pun merayakan hari kemenangan setelah berlatih kesabaran dalam berpuasa selama sebulan bukan? Bahkan Thomas Alfa Edison tidak akan menjadi penemu kalau dia membatasi kesabarannya.

“Hehe...Senja jadi malu. Bunda, tapi apa iya Senja bisa bersabar ya kalau misalnya Senja sakit tapi tidak ada Bunda disini?”

“Tentu saja sayang. Kalau menurut Bunda, selama kamu percaya bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.2), maka semua hal akan terasa biasa saja, mungkin tidak mudah, tapi bukan berarti kita tidak bisa melewatinya.”

“Iya Bunda, tapi kadang Senja sedih kalau misalnya suatu saat Senja harus kuliah di tempat yang jauh, Bunda yang jadi sendirian. Kenapa ya Bun, kalau menurut Senja, jauh lebih sedih melihat orang yang kita sayangi sedih daripada kita sendiri yang sedang sedih.”

“Bunda juga begitu, tapi bukankah kita mencintai orang lain itu dalam rangka mencintai Allah Nak? Jadi yang terpenting buat kita adalah bagaimana orang itu juga dicintai oleh Allah. Bagaimana kita berusaha menjadikan diri kita membawa kebaikan buatnya. Hanya hati yang menentukan jarak. Kalaupun suatu saat Senja berada jauh dari Bunda, apakah berarti Bunda akan kehilangan cinta itu? Tidak sayang, Bunda mencintaimu karena Allah, jadi Bunda akan siap melepaskanmu untuk jauh dari Bunda, tapi Bunda tak akan sekalipun membiarkanmu jauh dari Allah.”

“Bundaaaaa......Senja sayaaaang sama Bunda.”

“And i love u more than you know Hun.....”

“Bunda, Senja sudah mulai ngantuk, bangunkan Senja di esok hari ya, sebelum subuh, Senja mau sholat dulu sebelum subuh.”

“InsyaAlloh, ...tidurnya sambil tersenyum ya Nak, kata orang kalau kita tidur sambil tersenyum, maka hati akan menjadi lebih lapang, lalu kita akan bangun pagi dengan perasaan yang lebih lapang pula.”

“Iya Bunda”
Aku melihatnya terlelap perlahan. Dia benar-benar menutup matanya sambil tersenyum, cantik sekali. Lalu pandanganku beralih ke sebuah tas di meja itu. Di dalamnya ada hasil pemeriksaaan terakhir keadaannya. Hatiku perih sekali, kanker darah itu entah sudah berapa lama membuatnya sakit. Tapi putriku tak pernah mengeluh, bahkan dia yang menguatkanku. Entah kenapa malam ini aku tak mengantuk sama sekali. Aku ingin menatapnya sampai ia bangun nanti”

“Senja, sudah jam 3, Senja mau bangun sekarang atau pas Subuh saja?”

“Hoahem...iya Bunda, Senja bangun sekarang saja.Tunggu Senja wudhu dulu ya Bunda”
“Iya”

Gadisku bertadarus hingga Subuh. Dan Subuh kali itu tak akan pernah kulupakan. Ketika aku selesai mengucapkan salam, Senja sudah roboh, Senja ternyata sudah pergi menghadap penciptanya. Ternyata ini adalah shalat terakhirku bersamanya, tapi aku berharap akan dipertemukan lagi dengannya,...suatu saat nanti.

Senja, mungkin aku telah kehilanganmu, tapi tak ada yang harus selalu aku tangisi, bukankah terlalu lama menangisi perpisahan berarti menyesali perjumpaan? Bahkan aku sangat bersyukur meskipun akhirnya harus kehilanganmu, sebab merasa kehilangan berarti kita telah diberi kesempatan untuk merasa memilikimu. Ya, aku bersyukur pernah ada bersamamu.

1) QS Al-Anfal ayat 66
2) QS Al-Baqarah ayat 286

#Sebuah fiksi di awal hari , 22 Oktober 2010

4 komentar:

  1. bagus lizt....
    nice...
    buatan mu ya?
    semoga kita termasuk orang-orang yang sabar... amin...

    BalasHapus
  2. Zae... ada kesan buru2nya ya di cerita itu..ada yg blm tersampaikan.. amiin, mudah2an kita termasuk orang yang sabar....

    BalasHapus
  3. bagus, aku tunggu karyamu berikutnya :)

    BalasHapus
  4. Mas Par: hehehe..malu..dan tentu saja minder..

    BalasHapus