Rabu, 15 Desember 2010

Aku, Lelap, dan Hujan

Lirih,
Gerimis itu perlahan mengusik lelapku,
Ah, lelap yang mana? Dari tadi aku hanya menutup mata,
Berharap gelap akan membawa ingatanku turut serta,
Apa bijak kalau kadang berandai bahwa mantra lupa tak sekedar ada di sebuah cerita,
Memilin kenangan, meletakkannya di sebuah bejana, lalu membuangnya.
Kurasa tidak !

Dan gerimis pun tlah jadi hujan,
Menghujani malam yang tak jua membuatku tak terjaga,
Apa karena aku terlalu mencintai hujan lalu tak rela kehilangan senandungnya?
Ingin selalu menyatu dalam harmoninya, terbawa dalam gemericik tetesannya.

Dan hujan itu pun kini hanya menyisakan rintik-rintiknya,
Tapi galau tak juga membuat lelap bersedia menyapa,
Kembali terbersit tanya, apa aku sesungguhnya menanti pelangi yang mungkin akan tercipta setelah hujan reda?
Tak masuk logika, karena pelangi hanya tercipta jika dan hanya jika ada cahaya mentari yang menembus sisa-sisa air hujan.

Lalu kenapa masih juga terjaga?
Karena tak berani kah aku meyakini bahwa musim hujan masih akan selalu berulang?
Bahwa besok, lusa, atau nanti aku akan tetap bisa merekam tiap rintiknya, kugubah jadi nada merdu yang berhasil menutupi pilu.