Jumat, 30 Juli 2010

Aku dan Kabut di Matamu

Dingin…
Beku…
Berkabut….
Sendu…

Kutatap lekat dua mata itu,
Aku hanya mau tau, apakah tlah benar-benar hilang asamu?
Kutersenyum dalam getir, kuharap sampai rasaku ke dalam rasamu
Katakan apa yang bisa aku lakukan, untuk mengurangi muram-mu itu?
Sungguh ingin kulihat senyummu.
Agar malam nanti aku lelap mengukir mimpi,
Agar esok hari tatapanmu tak membuatku menahan perih.

Kau tak pernah perhatikanku yang tlah enam bulan memperhatikanmu
Dan baru kali itu kuberanikan jiwaku menyapa jiwamu
Kuberanikan bertanya namamu
Kuberanikan mendekat dan menatap bening matamu yang tertutup kabut

Dan seminggu lalu kau masih disitu..
Maaf bila ku tak menyapamu.
Karena kau tertidur di samping gelas plastik kumalmu.

Iya, benar kata penulis itu..
Fakta memang terkadang bisa lebih aneh ketimbang fiksi sekalipun
Kau hanyalah satu dari beribu-ribu..
Dan apa dayaku
Bahkan aku merasa lebih kecil dibanding anak berusia tujuh tahun sepertimu..
Yang tiap pagi kau sempat menuntut ilmu, dan di sore hari berada di lorong itu demi ibumu…

Namun sejujurnya aku malu padamu.
Aku malu karena tlah berhari-hari mengeluh
Mengeluh kepiluanku yang bahkan mungkin tak seberapa dibanding perihmu
Aku malu karena terpuruk oleh sembilu yang tak seberapa dibanding semua hal indah untukku
Aku malu, aku malu….

Namun demi detik ini
Aku akan bangun, melihat cermin yang memperjelas kerapuhanku, mencuci mukaku, dan minta ampun pada Penciptaku.
Agar dikuatkan lankahku
Agar disampaikan usiaku, hingga mampu kudengar sayup sahur yang sebentar lagi kita jemput.

Jumat, 23 Juli 2010

Aku dan Kehilangan

Sesak ini seketika tiba…
Perlahan meluruh, merapuh, dan menjadikan mozaik itu semakin berkeping.
Laksana pucuk cemara yang ditinggalkan punainya
Aku kehilanganmu, engkau terenggut tanpa pernah kumiliki
Kau yang jauh semakin jauh tak tersentuh

Tapi apakah harus sampai disini dayaku?
Tak jua sayang….
Aku akan beranjak meski pelan
Tetap terbang meskipun sebelah sayapku terluka
Karena sejak awal tak pernah kusematkan kata jatuh sebelum kata cinta, maka aku tegar
Sejak semula aku pun tahu bahwa engkau hanya fatamorgana

Aku juga sadar sepenuhnya bahwa luka ini aku yang sengaja
Sejak mula aku tahu tlah di tepi jurang, namun kusingkirkan batu pegangan
Dan kini terhempas sudah segenggam asa

Tapi tentu tak sia-sia setiap cerita
Karena Dia ingin memarahiku tak lewat bahasa semata
Agar aku sadar dan tahu diri
Tlah jauhlah sangat diri ini dari cinta-Mu, berani-beraninya berharap kasih yang baru
Tapi sungguh kini aku tahu diri
Dan aku ingin Engkau kasihi lagi….

Kamis, 22 Juli 2010

Sebuah fiksi, tentang Azalea…

Azalea,..pasti Bunda tak sekedar saja memberi nama. Ia pasti menginginkan Azalea-nya punya sifat seperti bunga itu, anggun namun tak angkuh, mempesona namun bisa hidup dimana saja. Tapi lebih dari itu, bagi Bunda, Azalea begitu istimewa. Azalea dengan segala keterbatasannya, yang tak pernah mendapat kesempatan melihat dunia dengan sempurna, tak pernah mendengar dunia dengan sempurna, dan bahkan tak pernah bisa mengungkapkan apa yang ada di hatinya tentang dunia.

Tapi bagi Azalea, yang tak tahu bagaimana mengungkapkannya, ia merasa Penciptanya begitu menyayanginya sehingga geraknya dibatasi agar tak turut merusak dunia, suaranya dibatasi agar tak turut menyalahkan keadaan, pendengarannya dibatasi agar tak perlu mendengar orang mencibirnya, bahkan kemampuan organ tubuhnya dalam merefleksikan apa yang dirasakannya pun dibatasi sehingga reaksi tubuhnya tak sesuai dengan apa yang ingin ia utarakan. Namun bagi Azalea, Tuhan sangat sayang padanya.Ya, Tuhan sangat menyayanginya, ia sangat percaya karena berbagai alasan,..

Karena ia punya Bunda, wanita luar biasa, yang tak pernah berhenti mencintainya, yang tegar membesarkan anak-anaknya tanpa seorang suami, ayah yang tak pernah sempat ia kenal. Bunda yang tak pernah marah padanya meskipun terkadang sepiring nasi dan segelas air yang disediakan, dilemparkan Azalea begitu saja di kolong meja. Kalau saja Bunda tahu, bukan itu maksud Azalea, Azalea sungguh ingin memakannya, namun ketika sentuhan lembut Bunda menghangat di tangannya, entah kenapa tubuhnya berontak, reaksi marah yang keluar. Kalau saja Azalea punya kesempatan, ia ingin bilang, ”Bunda, bukan itu maksud Azalea..” Namun tanpa penjelasan itupun Bunda selalu mengerti, bahwa Azalea menyayanginya, lebih dari yang ia kira. Bunda yang dalam hidupnya selalu menempatkan anak-anaknya diatas segala kepentingannya, Bunda yang hampir setiap malam terisak-isak diatas sajadah,dan demi merasakan tulusnya do’a Bunda, justru yang keluar dari mulut Azalea adalah erangan-erangan marah yang mungkin bagi orang selain bunda itu sangat menyebalkan. Sekali lagi, sungguh bukan itu maksud Azalea. Tapi bukan Bunda kalau tak memeluk Azalea dengan hangat, mengelus rambut Azalea dengan lembut, dan membisikkan sebuah kalimat “Bunda sayang sama Azalea, mudah-mudahan Allah juga selalu menyayangi kita Nak”.

Karena ia punya Anah, perempuan yang telah 25 tahun membantu Bunda mengurus rumah, dan tentu saja membantu mengurus anak-anak Bunda. Terkadang memang Anah marah padanya, tapi itu wajar, siapa yang akan selalu sabar menghadapi Azalea yang tak tentu reaksinya, kecuali Bunda tentu saja. Tapi Azalea tak pernah marah dengan Anah, karena Anah yang membawa Azalea jalan-jalan jika Bunda bekerja. Dan karena itu Azalea bisa melihat dunia, meskipun tak sempurna. Azalea bisa melihat seorang pria yang hampir tiap hari termenung di bangku taman kota itu sambil menunggu kendaraan umum yang membawanya pulang ke rumahnya. Pria yang memandangnya prihatin, namun tak ambil pusing. Sorot mata itu banyak ia lihat di sekitar tempat itu, pria-pria dan wanita dengan rutinitasnya yang hampir sama tiap harinya. Yang tiap pagi turun dari kendaraan menuju tempat kerjanya, dan sore harinya menunggu kendaraan yang mengantar pulang ke rumahnya. Ingin sekali ia menyapa mereka, berkawan dengan mereka, namun ketika ia menatap mereka, justru tatapan kosong yang dilihat oleh mereka.
Dengan Anah pula Azalea melihat ironi itu, sebuah monumen kebanggaan negeri ini, namun coba saja berjalan kaki tak jauh dari tempat megah itu, dan akan tampak deretan rumah kumuh di tepian rel kereta api, dengan penghuni berdesakan. Andai saja Azalea bisa bilang, dia ingin sekali berteriak, inilah monumen sesungguhnya negeri ini,bukan tugu yang menjulang tinggi itu.
Anah pula yang membawanya ke jembatan penyeberangan itu, yang disampingnya berdiri sebuah pusat perbelanjaan. Azalea tak suka pusat perbelanjaaan itu, ramai, dan hampir seluruh mata memandangnya berbeda. Namun di jembatan penyeberangan itu hati Azalea terusik, puluhan anak tiduran dengan gelas-gelas plastik di sampingnya. Tentu saja mereka tak sedang main congklak, mereka mengharapkan ada yang memasukkan uang ke dalam gelas plastik itu. Azalea ingin sekali bertanya, ”Bukankah di sekitar rumah kita, anak-anak seperti mereka memakai seragam putih-merah dengan dasi lucu dan topi yang kebesaran?”. Meskipun mereka memandang dan bahkan menjadikan Azalea sebuah olok-olokan, namun Azalea tiba-tiba menyayangi mereka, makhluk-makhluk kecil yang harus memaknai waktu bermainnya dengan miris. Sakit sekali hati Azalea jika rekaman sorot-sorot mata itu berkelebat di benaknya.

Dan Azalea punya Jingga. Gadis yang lahir dari rahim yang sama dengannya. Gadis yang baginya teramat istimewa. Jingga yang dulu seringkali dicakar dan dijambak rambutnya. Namun sungguh, Azalea tak bermaksud menyakitinya, karena tanpa sadar reaksi itu yang keluar. Saat itu kadang Jingga kesal dan mencubit pipinya, tapi tak berarti Jingga marah, Jingga tak pernah marah pada Azalea. Cintanya pada Azalea seluas samudra, entah karena pernah bersemayam di rahim yang sama, atau karena Jingga memang tak pernah marah.
Jingga yang sering dilihatnya memandang cakrawala di kala senja, dan dirasakannya bahwa rasa syukur yang nampak dari sorot mata itu ketika mentari dengan anggunnya tiba-tiba menghilang. Dan setelah itu, Jingga pasti berwudhu, iseng memercikkan air ke Azalea, lalu bilang, ”Sholat dulu ya, Azalea juga mau sholat kan? Allah tahu itu kok”.
Jingga yang selalu suka hujan, dan kelamaan aku tahu alasannya. Karena hujan selalu menyamarkan air matanya dan menyembunyikan isaknya. Jingga adalah gadis yang tegar, gadis yang cerdas, dan tak pernah menyalahkan keadaan. Gadis yang mengalahkan suasana dengan segenap rasanya. Yang menjadi sahabat sekaligus putri Bunda dalam menapaki masa. Yang bekerja keras menyelesaikan kuliahnya dengan menterjemahkan ribuan lembar buku-buku tebal, menawarkan kerudung-kerudung ke teman kuliahnya, bahkan menberima pesanan kue lebaran. Bunda tak pernah memintanya, tapi bukan Jingga kalau tak membaja dengan keinginannya.
Namun bagi Azalea, tak pernah ada sembilu yang mengiris hatinya teramat dalam kecuali ketika menyaksikan Jingga bersimpuh di pekatnya malam. Karena Azalea mengerti bahwa di dalam do’a itu ada dirinya, ada bundanya, yang selalu disebut oleh Jingga. Dan Jingga meminta cinta dan ridha untuk keduanya. Cinta dan ridha dari Sang Pencipta, adakah do’a yang lebih indah dari dua hal itu?
Dan satu lagi makna isakan-isakan Jingga di keheningan itu, curhat-nya pada Sang Pencipta tentang seseorang yang sangat berarti baginya, seorang laki-laki yang istimewa di matanya. Yang meskipun bagi dunia, dia hanyalah seseorang, namun bagi Jingga, dia adalah bagian penting dari dunianya. Yang tak pernah diketahui siapapun, bahkan oleh Bunda. Yang disimpannya rapat di sudut hatinya, yang dimintakannya segala cinta pada Sang Pencipta, yang dikirimkannya bait-bait rindu lewat bening air matanya. Namun bersamaan dengan setiap isakan itu pula Jingga melepasnya, meminta agar Sang Pencipta memberikan keikhlasan di hatinya, kelapangan untuk membiarkannya perlahan hilang dari ingatannya. Dan bagi Azalea, Jingga di saat seperti itu sangat ingin didekapnya, sangat ingin dibisikinya dengan sebuah kalimat, ”Jingga sayang, aku juga tak tahu kemana semuanya akan bermuara, namun satu hal yang pasti, kalaupun dia tak diciptakan untuk mendampingimu, percayalah bahwa engkau tetaplah orang yang sangat beruntung, kerena kau hanya akan kehilangan seseorang yang tak mempedulikanmu, tapi dia kehilangan seseorang yang mengasihinya dengan luar biasa”.
Jingga, tak salah jika Bunda memberimu nama itu, engkau memang seanggun dan semegah warna jingga di kala senja, yang meneduhkan, yang tak pernah sedikitpun menyimpan kemarahan, tak pernah menyembunyikan benci, menguraikan kecewa dengan pemikiran sederhana, dan yang memaknai setiap hari hanya untuk satu tujuan, cinta-Nya. Kalau Azalea dilahirkan kembali, dia ingin sekali tetap berada di samping Jingga dengan segala ketidaksempurnaannya sebagai manusia, namun memiliki jiwa yang damai luar biasa.

Dan bagi Azalea, semua yang dimilikinya itu terlampau cukup untuk tak menggugat pada keadaan. Segala keterbatasannya adalah bukti kesempurnaan Penciptanya. Yang mencintai Azalea dengan cara yang kadang tak dimengerti manusia.