Rabu, 15 Desember 2010

Aku, Lelap, dan Hujan

Lirih,
Gerimis itu perlahan mengusik lelapku,
Ah, lelap yang mana? Dari tadi aku hanya menutup mata,
Berharap gelap akan membawa ingatanku turut serta,
Apa bijak kalau kadang berandai bahwa mantra lupa tak sekedar ada di sebuah cerita,
Memilin kenangan, meletakkannya di sebuah bejana, lalu membuangnya.
Kurasa tidak !

Dan gerimis pun tlah jadi hujan,
Menghujani malam yang tak jua membuatku tak terjaga,
Apa karena aku terlalu mencintai hujan lalu tak rela kehilangan senandungnya?
Ingin selalu menyatu dalam harmoninya, terbawa dalam gemericik tetesannya.

Dan hujan itu pun kini hanya menyisakan rintik-rintiknya,
Tapi galau tak juga membuat lelap bersedia menyapa,
Kembali terbersit tanya, apa aku sesungguhnya menanti pelangi yang mungkin akan tercipta setelah hujan reda?
Tak masuk logika, karena pelangi hanya tercipta jika dan hanya jika ada cahaya mentari yang menembus sisa-sisa air hujan.

Lalu kenapa masih juga terjaga?
Karena tak berani kah aku meyakini bahwa musim hujan masih akan selalu berulang?
Bahwa besok, lusa, atau nanti aku akan tetap bisa merekam tiap rintiknya, kugubah jadi nada merdu yang berhasil menutupi pilu.

Kamis, 21 Oktober 2010

Sebuah Fiksi

Bunda, Bangunkan Senja di Esok Nanti

Hujan deras siang tadi masih menyisakan gerimis di luar sana, suaranya lirih namun teratur, indah sekali. Pun bagiku yang masih menatap kosong ruangan ini, bersama gadis yang cantik sekali, secantik namanya, Senja. Senja adalah putriku satu-satunya, yang teramat aku cintai dengan segenap rasa yang aku punya.

“Bunda, kok belum tidur juga? Senja kan sudah baikan."

“Iya,kalo ngantuk, Bunda pasti tidur. Senja belum ngantuk?”

“Belum, kalau gitu boleh Senja nanya Bun?”

“Kenapa sayang?”

“Bunda, kata orang sabar itu ada batasnya, lalu kalau kita sudah mencapai batas kesabaran itu bagaimana? Misalnya kalau kita merasa sakit, dimana kita tahu kalau kita sudah berada di batas kesabaran untuk menahan rasa sakit itu?”

“Sayang, itu kan kata sebagian manusia, kita dengar perkataan Allah saja ya. Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (otrang musuh); dan jika diantara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah.Allah beserta orang-orang yang sabar.1) Nah, berarti kalau kita ingin bersama Allah berarti sabar itu tak boleh ada batasnya. Mungkin bagi Bunda dan kamu, sabar itu sangat sulit, setidaknya kita belajar untuk bersabar. O iya, betapa banyak kemenagan yang diraih justru karena kesabaran, contohnya perang Badar. Kita pun merayakan hari kemenangan setelah berlatih kesabaran dalam berpuasa selama sebulan bukan? Bahkan Thomas Alfa Edison tidak akan menjadi penemu kalau dia membatasi kesabarannya.

“Hehe...Senja jadi malu. Bunda, tapi apa iya Senja bisa bersabar ya kalau misalnya Senja sakit tapi tidak ada Bunda disini?”

“Tentu saja sayang. Kalau menurut Bunda, selama kamu percaya bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.2), maka semua hal akan terasa biasa saja, mungkin tidak mudah, tapi bukan berarti kita tidak bisa melewatinya.”

“Iya Bunda, tapi kadang Senja sedih kalau misalnya suatu saat Senja harus kuliah di tempat yang jauh, Bunda yang jadi sendirian. Kenapa ya Bun, kalau menurut Senja, jauh lebih sedih melihat orang yang kita sayangi sedih daripada kita sendiri yang sedang sedih.”

“Bunda juga begitu, tapi bukankah kita mencintai orang lain itu dalam rangka mencintai Allah Nak? Jadi yang terpenting buat kita adalah bagaimana orang itu juga dicintai oleh Allah. Bagaimana kita berusaha menjadikan diri kita membawa kebaikan buatnya. Hanya hati yang menentukan jarak. Kalaupun suatu saat Senja berada jauh dari Bunda, apakah berarti Bunda akan kehilangan cinta itu? Tidak sayang, Bunda mencintaimu karena Allah, jadi Bunda akan siap melepaskanmu untuk jauh dari Bunda, tapi Bunda tak akan sekalipun membiarkanmu jauh dari Allah.”

“Bundaaaaa......Senja sayaaaang sama Bunda.”

“And i love u more than you know Hun.....”

“Bunda, Senja sudah mulai ngantuk, bangunkan Senja di esok hari ya, sebelum subuh, Senja mau sholat dulu sebelum subuh.”

“InsyaAlloh, ...tidurnya sambil tersenyum ya Nak, kata orang kalau kita tidur sambil tersenyum, maka hati akan menjadi lebih lapang, lalu kita akan bangun pagi dengan perasaan yang lebih lapang pula.”

“Iya Bunda”
Aku melihatnya terlelap perlahan. Dia benar-benar menutup matanya sambil tersenyum, cantik sekali. Lalu pandanganku beralih ke sebuah tas di meja itu. Di dalamnya ada hasil pemeriksaaan terakhir keadaannya. Hatiku perih sekali, kanker darah itu entah sudah berapa lama membuatnya sakit. Tapi putriku tak pernah mengeluh, bahkan dia yang menguatkanku. Entah kenapa malam ini aku tak mengantuk sama sekali. Aku ingin menatapnya sampai ia bangun nanti”

“Senja, sudah jam 3, Senja mau bangun sekarang atau pas Subuh saja?”

“Hoahem...iya Bunda, Senja bangun sekarang saja.Tunggu Senja wudhu dulu ya Bunda”
“Iya”

Gadisku bertadarus hingga Subuh. Dan Subuh kali itu tak akan pernah kulupakan. Ketika aku selesai mengucapkan salam, Senja sudah roboh, Senja ternyata sudah pergi menghadap penciptanya. Ternyata ini adalah shalat terakhirku bersamanya, tapi aku berharap akan dipertemukan lagi dengannya,...suatu saat nanti.

Senja, mungkin aku telah kehilanganmu, tapi tak ada yang harus selalu aku tangisi, bukankah terlalu lama menangisi perpisahan berarti menyesali perjumpaan? Bahkan aku sangat bersyukur meskipun akhirnya harus kehilanganmu, sebab merasa kehilangan berarti kita telah diberi kesempatan untuk merasa memilikimu. Ya, aku bersyukur pernah ada bersamamu.

1) QS Al-Anfal ayat 66
2) QS Al-Baqarah ayat 286

#Sebuah fiksi di awal hari , 22 Oktober 2010

Kamis, 14 Oktober 2010

Izinkan Aku Bertanya

Izinkan aku bertanya tentang tetes hujan yang begitu harmonis membuat senandung yang sendu
Izinkan aku bertanya tentang mentari yang senantiasa menciptakan pelangi bersama titik-titiknya
Biarkan aku bertanya mengapa penciptaNya menciptakannya bergantian, berbeda, namun saling ada satu sama lainnya
Ingin aku bertanya pula tentang lara, luka, tawa, dan cinta
Yang keniscayaannya adalah nyata namun tak terkata
Biar saja aku bertanya lewat pena meskipun aku jawabannya tak pernah bisa terbaca

Sabtu, 04 September 2010

Gadis cantik itu bernama Nabila...

01.30 @Salahudin KPDJP

Orang-orang bergantian bertilawah, qiyamul lail, dan sejenak tertidur. Suasana khusyuk benar-benar memenuhi ruangan itu. Sejenak kuhentikan bacaanku, tawa riang seorang gadis kecil yang sangat ayu mengusikku...Dia merangkak, kadang berjalan beberapa langkah, tersenyum, dan berceloteh tak jelas, namun sangat lucu..Kuhampiri dia dan wanita cantik yang pasti adalah bundanya.

"Wah, kok jam segini belum tidur Mbak?"
"Iya, dia tidurnya nanti setelah subuh Mbak.."
"Eh, namanya siapa ini?, udah ada 1,5 tahun Mbak?"
"Namanya Nabila, baru 13 bulan Mbak."
Dan kami pun ngobrol sampai 1 jam lebih.

Namanya Nabila, cantik sekali,matanya bulat,bulu mata yang panjang lentik, pipi yang tembem, dan suka tersenyum serta tertawa,semakin cantik dgn jilbab lucu yg dikenakannya. Namun selain itu, aku sangat tertarik dengan wanita cantik yang telah melahirkannya.Dia wanita yang cerdas, sabar, ramah, dan sangat lembut. Yang memberiku pelajaran tentang kesabaran yang tak sekedar wacana di awang-awang, kesabaran yang sederhana yang kadang justru sering tdk kita temukan. Tiap malam gadis kecilnya itu tak tidur sebelum subuh,sementara suaminya seringkali pulang setelah larut malam karena pekerjaan di Direktoratnya yang mengharuskannya lembur hampir tiap hari. Subhanallah....
Cara dan cerita beliau memperlakukan putri cantiknya mengingatkan saya tentang kejadian beberapa waktu lalu d kantor saya, dimana seorang anak kecil yang sedang menangis merajuk justru dimarahi dan ia semakin menangis sejadi-jadinya.Saya tak bisa begitu saja menyalahkan sikap itu, karena lagi-lagi saya tidak tahu seperti apa kondisinya saat itu, namun sepertinya sikap yang palng bijak adalah yang ditunjukkan oleh wanita luar biasa ini..memandang sesuatu hal, kesulitan, dan bahkan kebahagiaan sekalipun sebagai ujian kesabaran...Subhanallah...

Thanks to Mbak Wulan yang telah bersedia sharing pikiran luar biasanya..Dan juga Nabila gadis kecil tercantik yang pernah saya lihat....

Kamis, 02 September 2010

Aku, Luka, dan Sang Waktu

Kugoreskan ujung pena,
Kucoba tuangkan segenap asa yang tlah mulai kehilarangan laranya
Yang mencoba berdiri, berjalan, bahkan berlari
Itu semua karenamu, Sang Waktu

Luka itu memang membiru, tapi tak sepilu dulu
Kehilangan itu hanya menyisakan bait-bait sendu yang ternyata menguatkanku
Lalu meyadarkan bahwa ketidakberartianku baginya hanya membuatku semakin ingin berjalan jauh bersamamu wahai Sang Waktu

Kau yang tlah menyembuhkan sakitku
Kau yang tlah mengeringkan lukaku
Kau yang tlah memberiku sejenak terpuruk, kemudian memberiku asa yang baru
Semua itu karenamu Sang Waktu

Lalu menyadarkanku betapa agungnya pemilikmu.

Jumat, 30 Juli 2010

Aku dan Kabut di Matamu

Dingin…
Beku…
Berkabut….
Sendu…

Kutatap lekat dua mata itu,
Aku hanya mau tau, apakah tlah benar-benar hilang asamu?
Kutersenyum dalam getir, kuharap sampai rasaku ke dalam rasamu
Katakan apa yang bisa aku lakukan, untuk mengurangi muram-mu itu?
Sungguh ingin kulihat senyummu.
Agar malam nanti aku lelap mengukir mimpi,
Agar esok hari tatapanmu tak membuatku menahan perih.

Kau tak pernah perhatikanku yang tlah enam bulan memperhatikanmu
Dan baru kali itu kuberanikan jiwaku menyapa jiwamu
Kuberanikan bertanya namamu
Kuberanikan mendekat dan menatap bening matamu yang tertutup kabut

Dan seminggu lalu kau masih disitu..
Maaf bila ku tak menyapamu.
Karena kau tertidur di samping gelas plastik kumalmu.

Iya, benar kata penulis itu..
Fakta memang terkadang bisa lebih aneh ketimbang fiksi sekalipun
Kau hanyalah satu dari beribu-ribu..
Dan apa dayaku
Bahkan aku merasa lebih kecil dibanding anak berusia tujuh tahun sepertimu..
Yang tiap pagi kau sempat menuntut ilmu, dan di sore hari berada di lorong itu demi ibumu…

Namun sejujurnya aku malu padamu.
Aku malu karena tlah berhari-hari mengeluh
Mengeluh kepiluanku yang bahkan mungkin tak seberapa dibanding perihmu
Aku malu karena terpuruk oleh sembilu yang tak seberapa dibanding semua hal indah untukku
Aku malu, aku malu….

Namun demi detik ini
Aku akan bangun, melihat cermin yang memperjelas kerapuhanku, mencuci mukaku, dan minta ampun pada Penciptaku.
Agar dikuatkan lankahku
Agar disampaikan usiaku, hingga mampu kudengar sayup sahur yang sebentar lagi kita jemput.

Jumat, 23 Juli 2010

Aku dan Kehilangan

Sesak ini seketika tiba…
Perlahan meluruh, merapuh, dan menjadikan mozaik itu semakin berkeping.
Laksana pucuk cemara yang ditinggalkan punainya
Aku kehilanganmu, engkau terenggut tanpa pernah kumiliki
Kau yang jauh semakin jauh tak tersentuh

Tapi apakah harus sampai disini dayaku?
Tak jua sayang….
Aku akan beranjak meski pelan
Tetap terbang meskipun sebelah sayapku terluka
Karena sejak awal tak pernah kusematkan kata jatuh sebelum kata cinta, maka aku tegar
Sejak semula aku pun tahu bahwa engkau hanya fatamorgana

Aku juga sadar sepenuhnya bahwa luka ini aku yang sengaja
Sejak mula aku tahu tlah di tepi jurang, namun kusingkirkan batu pegangan
Dan kini terhempas sudah segenggam asa

Tapi tentu tak sia-sia setiap cerita
Karena Dia ingin memarahiku tak lewat bahasa semata
Agar aku sadar dan tahu diri
Tlah jauhlah sangat diri ini dari cinta-Mu, berani-beraninya berharap kasih yang baru
Tapi sungguh kini aku tahu diri
Dan aku ingin Engkau kasihi lagi….

Kamis, 22 Juli 2010

Sebuah fiksi, tentang Azalea…

Azalea,..pasti Bunda tak sekedar saja memberi nama. Ia pasti menginginkan Azalea-nya punya sifat seperti bunga itu, anggun namun tak angkuh, mempesona namun bisa hidup dimana saja. Tapi lebih dari itu, bagi Bunda, Azalea begitu istimewa. Azalea dengan segala keterbatasannya, yang tak pernah mendapat kesempatan melihat dunia dengan sempurna, tak pernah mendengar dunia dengan sempurna, dan bahkan tak pernah bisa mengungkapkan apa yang ada di hatinya tentang dunia.

Tapi bagi Azalea, yang tak tahu bagaimana mengungkapkannya, ia merasa Penciptanya begitu menyayanginya sehingga geraknya dibatasi agar tak turut merusak dunia, suaranya dibatasi agar tak turut menyalahkan keadaan, pendengarannya dibatasi agar tak perlu mendengar orang mencibirnya, bahkan kemampuan organ tubuhnya dalam merefleksikan apa yang dirasakannya pun dibatasi sehingga reaksi tubuhnya tak sesuai dengan apa yang ingin ia utarakan. Namun bagi Azalea, Tuhan sangat sayang padanya.Ya, Tuhan sangat menyayanginya, ia sangat percaya karena berbagai alasan,..

Karena ia punya Bunda, wanita luar biasa, yang tak pernah berhenti mencintainya, yang tegar membesarkan anak-anaknya tanpa seorang suami, ayah yang tak pernah sempat ia kenal. Bunda yang tak pernah marah padanya meskipun terkadang sepiring nasi dan segelas air yang disediakan, dilemparkan Azalea begitu saja di kolong meja. Kalau saja Bunda tahu, bukan itu maksud Azalea, Azalea sungguh ingin memakannya, namun ketika sentuhan lembut Bunda menghangat di tangannya, entah kenapa tubuhnya berontak, reaksi marah yang keluar. Kalau saja Azalea punya kesempatan, ia ingin bilang, ”Bunda, bukan itu maksud Azalea..” Namun tanpa penjelasan itupun Bunda selalu mengerti, bahwa Azalea menyayanginya, lebih dari yang ia kira. Bunda yang dalam hidupnya selalu menempatkan anak-anaknya diatas segala kepentingannya, Bunda yang hampir setiap malam terisak-isak diatas sajadah,dan demi merasakan tulusnya do’a Bunda, justru yang keluar dari mulut Azalea adalah erangan-erangan marah yang mungkin bagi orang selain bunda itu sangat menyebalkan. Sekali lagi, sungguh bukan itu maksud Azalea. Tapi bukan Bunda kalau tak memeluk Azalea dengan hangat, mengelus rambut Azalea dengan lembut, dan membisikkan sebuah kalimat “Bunda sayang sama Azalea, mudah-mudahan Allah juga selalu menyayangi kita Nak”.

Karena ia punya Anah, perempuan yang telah 25 tahun membantu Bunda mengurus rumah, dan tentu saja membantu mengurus anak-anak Bunda. Terkadang memang Anah marah padanya, tapi itu wajar, siapa yang akan selalu sabar menghadapi Azalea yang tak tentu reaksinya, kecuali Bunda tentu saja. Tapi Azalea tak pernah marah dengan Anah, karena Anah yang membawa Azalea jalan-jalan jika Bunda bekerja. Dan karena itu Azalea bisa melihat dunia, meskipun tak sempurna. Azalea bisa melihat seorang pria yang hampir tiap hari termenung di bangku taman kota itu sambil menunggu kendaraan umum yang membawanya pulang ke rumahnya. Pria yang memandangnya prihatin, namun tak ambil pusing. Sorot mata itu banyak ia lihat di sekitar tempat itu, pria-pria dan wanita dengan rutinitasnya yang hampir sama tiap harinya. Yang tiap pagi turun dari kendaraan menuju tempat kerjanya, dan sore harinya menunggu kendaraan yang mengantar pulang ke rumahnya. Ingin sekali ia menyapa mereka, berkawan dengan mereka, namun ketika ia menatap mereka, justru tatapan kosong yang dilihat oleh mereka.
Dengan Anah pula Azalea melihat ironi itu, sebuah monumen kebanggaan negeri ini, namun coba saja berjalan kaki tak jauh dari tempat megah itu, dan akan tampak deretan rumah kumuh di tepian rel kereta api, dengan penghuni berdesakan. Andai saja Azalea bisa bilang, dia ingin sekali berteriak, inilah monumen sesungguhnya negeri ini,bukan tugu yang menjulang tinggi itu.
Anah pula yang membawanya ke jembatan penyeberangan itu, yang disampingnya berdiri sebuah pusat perbelanjaan. Azalea tak suka pusat perbelanjaaan itu, ramai, dan hampir seluruh mata memandangnya berbeda. Namun di jembatan penyeberangan itu hati Azalea terusik, puluhan anak tiduran dengan gelas-gelas plastik di sampingnya. Tentu saja mereka tak sedang main congklak, mereka mengharapkan ada yang memasukkan uang ke dalam gelas plastik itu. Azalea ingin sekali bertanya, ”Bukankah di sekitar rumah kita, anak-anak seperti mereka memakai seragam putih-merah dengan dasi lucu dan topi yang kebesaran?”. Meskipun mereka memandang dan bahkan menjadikan Azalea sebuah olok-olokan, namun Azalea tiba-tiba menyayangi mereka, makhluk-makhluk kecil yang harus memaknai waktu bermainnya dengan miris. Sakit sekali hati Azalea jika rekaman sorot-sorot mata itu berkelebat di benaknya.

Dan Azalea punya Jingga. Gadis yang lahir dari rahim yang sama dengannya. Gadis yang baginya teramat istimewa. Jingga yang dulu seringkali dicakar dan dijambak rambutnya. Namun sungguh, Azalea tak bermaksud menyakitinya, karena tanpa sadar reaksi itu yang keluar. Saat itu kadang Jingga kesal dan mencubit pipinya, tapi tak berarti Jingga marah, Jingga tak pernah marah pada Azalea. Cintanya pada Azalea seluas samudra, entah karena pernah bersemayam di rahim yang sama, atau karena Jingga memang tak pernah marah.
Jingga yang sering dilihatnya memandang cakrawala di kala senja, dan dirasakannya bahwa rasa syukur yang nampak dari sorot mata itu ketika mentari dengan anggunnya tiba-tiba menghilang. Dan setelah itu, Jingga pasti berwudhu, iseng memercikkan air ke Azalea, lalu bilang, ”Sholat dulu ya, Azalea juga mau sholat kan? Allah tahu itu kok”.
Jingga yang selalu suka hujan, dan kelamaan aku tahu alasannya. Karena hujan selalu menyamarkan air matanya dan menyembunyikan isaknya. Jingga adalah gadis yang tegar, gadis yang cerdas, dan tak pernah menyalahkan keadaan. Gadis yang mengalahkan suasana dengan segenap rasanya. Yang menjadi sahabat sekaligus putri Bunda dalam menapaki masa. Yang bekerja keras menyelesaikan kuliahnya dengan menterjemahkan ribuan lembar buku-buku tebal, menawarkan kerudung-kerudung ke teman kuliahnya, bahkan menberima pesanan kue lebaran. Bunda tak pernah memintanya, tapi bukan Jingga kalau tak membaja dengan keinginannya.
Namun bagi Azalea, tak pernah ada sembilu yang mengiris hatinya teramat dalam kecuali ketika menyaksikan Jingga bersimpuh di pekatnya malam. Karena Azalea mengerti bahwa di dalam do’a itu ada dirinya, ada bundanya, yang selalu disebut oleh Jingga. Dan Jingga meminta cinta dan ridha untuk keduanya. Cinta dan ridha dari Sang Pencipta, adakah do’a yang lebih indah dari dua hal itu?
Dan satu lagi makna isakan-isakan Jingga di keheningan itu, curhat-nya pada Sang Pencipta tentang seseorang yang sangat berarti baginya, seorang laki-laki yang istimewa di matanya. Yang meskipun bagi dunia, dia hanyalah seseorang, namun bagi Jingga, dia adalah bagian penting dari dunianya. Yang tak pernah diketahui siapapun, bahkan oleh Bunda. Yang disimpannya rapat di sudut hatinya, yang dimintakannya segala cinta pada Sang Pencipta, yang dikirimkannya bait-bait rindu lewat bening air matanya. Namun bersamaan dengan setiap isakan itu pula Jingga melepasnya, meminta agar Sang Pencipta memberikan keikhlasan di hatinya, kelapangan untuk membiarkannya perlahan hilang dari ingatannya. Dan bagi Azalea, Jingga di saat seperti itu sangat ingin didekapnya, sangat ingin dibisikinya dengan sebuah kalimat, ”Jingga sayang, aku juga tak tahu kemana semuanya akan bermuara, namun satu hal yang pasti, kalaupun dia tak diciptakan untuk mendampingimu, percayalah bahwa engkau tetaplah orang yang sangat beruntung, kerena kau hanya akan kehilangan seseorang yang tak mempedulikanmu, tapi dia kehilangan seseorang yang mengasihinya dengan luar biasa”.
Jingga, tak salah jika Bunda memberimu nama itu, engkau memang seanggun dan semegah warna jingga di kala senja, yang meneduhkan, yang tak pernah sedikitpun menyimpan kemarahan, tak pernah menyembunyikan benci, menguraikan kecewa dengan pemikiran sederhana, dan yang memaknai setiap hari hanya untuk satu tujuan, cinta-Nya. Kalau Azalea dilahirkan kembali, dia ingin sekali tetap berada di samping Jingga dengan segala ketidaksempurnaannya sebagai manusia, namun memiliki jiwa yang damai luar biasa.

Dan bagi Azalea, semua yang dimilikinya itu terlampau cukup untuk tak menggugat pada keadaan. Segala keterbatasannya adalah bukti kesempurnaan Penciptanya. Yang mencintai Azalea dengan cara yang kadang tak dimengerti manusia.