Senin, 09 Februari 2009

Jakarta-Bogor, "Sebuah Perjalanan"

Assalamu’alaykum Wr.Wb.

Alhamdulillah, hanya kepada Allah segala puji dihaturkan, Yang Maha Mengusai Segalanya. Yang Paling Mengetahui isi hati manusia..

Berbagai hal kita temui setiap hari, berbagai macam orang kita jumpai tiap hari, dan berbagai kejadian kita alami setiap hari. Semoga semuanya meninggalkan hikmah di hati kita. Membuat kita semakin dewasa dalam memaknai kehidupan. Kehidupan yang kita jalani denagan sendirinya, yang menyisakan kenangan setelahnya dan menimbulkan misteri sebelumnya.Belajar untuk menjadi seorang pembelajar, mungkin itulah yang sebagian orang ingin senantiasa melaksanakannya, karena pada dasarnya setiap hal adalah sebuah proses untuk menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya.

Dan di hari itu pula, hari dimana sebuah perjalanan biasa menjadi tidak biasa untuk saya, ya..di KRL Jakarta-Bogor telah saya lihat sebuah realita bahwa kita tak boleh berfikir bahwa kita sendirian. Di dalam perjalanan pertama saya dari Jakarta ke Bogor, 3 tahun yang lalu. KRL yang menjadi kendaraan favorit itu seperti biasanya, padat, namun tak perlu terlalu berdesakan. Ratusan orang di dalamnya, separuhnya berdiri, berpaut pada pegangan besi tua yang sebagian besar sudah berkarat. Dan disitulah saya, berdiri di dekat pintu kereta, sambil memperhatikan lalu lalang penjual asongan.

Dan ketika melewati daerah yang tampak monument nasional dari tempat itu, maka banyak saya lihat kios-kios yang sebenarnya lebih tepat kalau disebut deretan rumah kardus yang di depannya dipenuhi pedagang sayur, yang kebanyakan sudah mulai layu, maka saya ingat sebuah acara di stasiun TV swasta yang menyebut bahwa di tempat kumuh itulah sesungguhnya monument nasional kita, bukan menara tinggi pencakar langit itu. Dan ketika ada seorang tua yang tersenyum ketika melewatiku, sungguh tak pernah saya merasakan senyum seperti itu, senyum yang begitu dalam masuk ke hatiku. Dia adalah salah satu potret bahwa usia senja tak menjamin seseorang harus memulai kehidupan yang penuh kedamaian, bahkan ia harus membawa pikulan berat yang entah apa isinya menembus kepadatan kereta itu.

Ketika kereta mulai keluar dari Jakarta, kusempatkan melihat keluar jendela, subhanallah, sebagian hatiku seakan kembali ke rumahku. Hijau dan coklat, pohon dan tanah, pemandangan yang sangat menawan. Namun berbeda dengan di dalam kereta, telah saya jumpai puluhan peminta-minta. Berbagai kalangan usia telah saya jumpai, anak kecil dibawah 5 tahun, remaja, dan tentu saja banyak sekali yang kira-kira seusia saya.

Dan ketika kereta itu sampai di Bogor, ia masih menyisakan sebuah tanda yang tak hilang hingga kini…. Kebun  Raya Bogor, itulah tujuanku waktu itu. Subhanallah, pohon-pohon besar, beraneka macam tanaman yang ada disana memang tak pernah membosankan dimata saya. Dan ketika saya pandangi istana megah yang dikelilingi kolam ataukah danau penuh teratai itu, kembali ingatanku menyapa kereta itu. Yah, inilah realita negeri ini, istana dan peminta-minta.

Hari itu sungguh luar biasa, ada keyakinan yang tersisa hingga sekarang bahwa mereka adalah bagian dari kita. Bahwa mengingkari kodrat kita sebagai sesosok makhluk social adalah sebuah pengkhianatan kepada mereka. 

2 komentar:

  1. he.eh...itu juga yang sering kuliat tiap perjalananku naek kereta..waktu ngelewatin banyak rumah2 kecil (yang sebenernya gak layak dsebut rumah) yg cm dari triplek tipis atau anyaman bambu yang berlobang2, aq cm bs ngerasain 'something yg aneh'...kayak trenyuh..kayak sedih...kayak miris....

    BalasHapus
  2. Benar, ada kesenjangan yang sulit dijelaskan...

    BalasHapus